Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 19]
Selasa, 2 Januari 2018

Bismillah.

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tetap terlimpah kepada nabi panutan kita Rasulullah Muhammad, para sahabatnya dan pengikut setia mereka hingga akhir zaman. Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, dari penjelasan pada seri-seri sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya syahadat yang menjadi sebab keselamatan hamba adalah syahadat yang memenuhi syaratnya, syahadat yang bukan sekedar ucapan lisan, tetapi syahadat yang dilandasi dengan ilmu, keyakinan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan.

Dua kalimat syahadat yang menjadi pilar atau rukun Islam paling pokok mengandung prinsip yang sangat agung dalam beragama; bahwa kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan kita tidak beribadah kecuali dengan mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Orang yang melakukan ibadah kepada Allah tetapi juga beribadah kepada selain-Nya maka dia terjerumus dalam kemusyrikan. Orang yang melakukan ibadah tidak dengan mengikuti ajaran dan petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia terjatuh dalam kebid’ahan. Bid’ah itu berbahaya, sebagaimana syirik juga sangat berbahaya.

Pelaku syirik sesungguhnya telah merusak syahadat laa ilaha illallah yang dia ucapkan -jika dia berasal dari kaum muslimin- dan pelaku bid;ah pada hakikatnya juga telah merusak syahadat Muhammad utusan Allah. Ibadah kepada Allah harus ikhlas dan dilandasi tauhid serta dilakukan sesuai dengan tuntunan, tidak boleh mengada-adakan tata-cara ibadah yang tidak ada contohnya. Oleh sebab itu para ulama menyebut ibadah itu sebagai perkara tauqifiyah; yaitu perkara yang terhenti kepada dalil. Tidak boleh melakukan suatu bentuk dan tata-cara ibadah kecuali ada dalilnya. Hukum asal ibadah adalah haram sampai datang dalil yang memerintahkannya.

Hal ini berdasarkan hadits yang masyhur dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka ia pasti tertolak.” (HR. Muslim). Pelaku bid’ah mengira dia mendekatkan diri kepada Allah dengan amalnya; padahal amalannya tidak dilandasi tuntunan dari agama. Oleh sebab itu sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Bid’ah lebih disukai oleh Iblis daripada maksiat, karena maksiat masih mungkin untuk taubat, sementara bid’ah sulit [pelakunya] untuk diajak bertaubat.”  

Baik tidaknya amalan tidak diukur dengan akal atau perasaan manusia, tetapi dinilai dengan dalil apakah ia sesuai dengan syari’at atau tidak, dan apakah ia ikhlas atau tidak. Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Amal terbaik -sebagaimana ditafsirkan oleh Fudhail bin Iyadh- adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas jika dilakukan murni karena Allah sedangkan disebut benar jika berada di atas sunnah/tuntunan nabi. Ikhlas saja tidak cukup, benar saja juga tidak cukup. Harus terpenuhi kedua syarat itu; ikhlas dan benar.

Dengan kata lain, syahadat laa ilaha illallah mewajibkan kita untuk berpegang teguh dengan tauhid sementara syahadat Muhammad rasulullah mewajibkan kita untuk berpegang teguh dengan sunnah. Penjelasan tentang makna tauhid sudah kita bicarakan di awal seri mengenal tauhid dan kini kita perlu mengenal lebih dalam mengenai makna sunnah. Wallahul muwaffiq.

Memahami Makna Sunnah

Syaikh Muhammad bin Husain al-Jizani menerangkan, bahwa secara bahasa ‘sunnah’ bermakna jalan atau perjalanan, baik yang terpuji maupun yang tercela.

Beliau juga menjelaskan, bahwa makna ‘sunnah’ menurut para ulama ahli ushul adalah segala sesuatu yang muncul atau datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selain al-Qur’an. Dengan demikian istilah ‘sunnah’ di sini mencakup perkataan, perbuatan, persetujuan/taqrir, tulisan atau surat-surat beliau, isyarat darinya, keinginan dan tekadnya, dan juga sikap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meninggalkan sesuatu.

Apabila ada istilah ‘hikmah’ yang bersanding dengan al-Qur’an disebutkan secara berbarengan maka makna dari hikmah di sini adalah as-sunnah yaitu sunnah/hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana telah diterangkan oleh Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Keterangan ini bisa dibaca dalam kitab Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Muhammad bin Husain al-Jizani hafizhahullah (lihat pada kitab tersebut, hal. 118)

Adapun istilah ‘sunnah’ yang biasa digunakan oleh para ahli fikih dengan makna sesuatu yang dianjurkan (mandub/mustahab/nafilah/tathawwu’) adalah suatu hal yang dituntut untuk dikerjakan akan tetapi tidak bersifat harus/bukan wajib. Sesuatu yang mandub atau sunnah di sini boleh ditinggalkan tetapi tidak boleh meyakini bahwa hal itu tidak dianjurkan. Maksudnya, meskipun kita tidak melakukannya maka kita tetap harus meyakini bahwa hal itu sesuatu yang dianjurkan dalam agama (lihat Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 306)

Dengan demikian istilah mandub atau sunnah menurut para ulama ahli ushul juga bisa bermakna segala hal yang diperintahkan oleh penetap syari’at tetapi tidak bersifat harus dilakukan. Sesuatu yang mandub ini diperintahkan menurut jumhur ahli ushul. Sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan dan berbuat ihsan.” (an-Nahl : 90). Berbuat adil adalah wajib sedangkan berbuat ihsan -dengan memaafkan dan tidak membalas, pent- adalah sesuatu yang dianjurkan. Kedua hal ini -yaitu berbuat adil dan ihsan- adalah diperintahkan. Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu yang mandub/sunnah pun diperintahkan (lihat Taqrib al-Ushul ‘ala Latha’if al-Ushul min ‘Ilmi al-Ushul, hal. 38 dan 39)

Apabila dicermati maka penggunaan istilah ‘sunnah’ ini memiliki maksud yang berbeda-beda tergantung konteks pembicaraannya. Terkadang ‘sunnah’ itu yang dimaksud adalah ucapan, perbuatan, dan persetujuan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ‘sunnah’ juga bermakna sesuatu yang menjadi lawan dari bi’dah. Dan terkadang ‘sunnah’ bermakna mandub/dianjurkan. Sunnah dalam pengertian yang terakhir inilah yang sering disebut ulama fikih dengan perkara yang mustahab atau nafilah (lihat Syarh al-Ushul min ‘Ilmi al-Ushul oleh Syaikh Sa’ad bin Nashir asy-Syatsri hafizhahullah, hal. 57)

Adapun istilah ‘sunnah’ dengan makna hadits -sebagaimana biasa disebutkan oleh para ulama hadits- adalah segala yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa ucapan, perbuatan, taqrir/persetujuan, dan apa-apa yang beliau telah bertekad untuk mengerjakannya. Inilah makna dari istilah hadits atau sunnah menurut para ulama hadits demikian juga menurut ulama ahli ushul. Dengan demikian istilah ‘sunnah’ menurut ulama ahli ushul juga bisa bermakna hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat keterangan Syaikh Abdul Karim al-Khudhair hafizhahullah dalam kitabnya al-Hadits adh-Dha’if wa Hukmul Ihtijaj Bihi, hal. 16)

Dari keterangan-keterangan di atas dapat kita simpulkan, bahwa penggunaan istilah sunnah oleh para ulama ushul fiqih bisa mencakup dua pemaknaan. Pertama; apabila yang dimaksud adalah sesuatu yang diperintahkan tetapi tidak harus dikerjakan, maka sunnah di sini adalah nama lain dari mustahab atau mandub atau nafilah. Kedua; adapun apabila yang dimaksud adalah sesuatu yang bersumber dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selain al-Qur’an -misalnya mereka mengatakan ‘kita harus kembali kepada al-Qur’an dan sunnah’- maka sunnah di sini adalah nama lain dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun istilah sunnah yang biasa digunakan para ulama akidah adalah ajaran/tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kebalikannya adalah bid’ah.

Perintah Mengikuti Sunnah

Di dalam hadits Irbadh bin Sariyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berpegang dengan Sunnahku…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata : hadits ini hasan sahih). Yang dimaksud dengan istilah ‘sunnah’ di sini adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya janganlah kalian mengada-adakan di dalam agama ini sesuatu yang bukan termasuk bagian dari ajarannya dan jangan keluar dari syari’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh al-Arba’in oleh al-Utsaimin, hal. 302)

Dengan demikian istilah ‘sunnah’ di sini bermakna umum mencakup keyakinan, amalan, dan ucapan. Inilah sunnah dengan makna yang lengkap. Oleh sebab itu para ulama salaf tidak memakai istilah sunnah kecuali dengan maksud yang mencakup ini semua/seluruh ajaran agama. Kemudian para ulama belakangan setelah mereka sering menggunakan istilah ‘sunnah’ dengan makna yang lebih khusus yaitu yang berkaitan dengan urusan akidah atau keyakinan. Hal ini bisa dipahami karena masalah akidah merupakan pondasi agama sehingga orang yang menyimpang dalam perkara ini berada dalam bahaya yang sangat besar (lihat Jami’ al-‘Ulum wal Hikam, hal. 333)

Istilah ‘sunnah’ inilah yang sering kita dengar dalam penyebutan ahlus sunnah wal jama’ah. Sebab sunnah di sini maknanya adalah jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebelum munculnya berbagai bentuk bid’ah dan pendapat-pendapat yang menyimpang. Adapun istilah jama’ah di sini maksudnya adalah orang-orang yang berkumpul di atas kebenaran yaitu para sahabat dan tabi’in; para pendahulu yang salih dari umat ini (lihat Syarh al-Wasithiyah oleh Syaikh Muhammad Khalil Harras, hal. 61 tahqiq Alawi Abdul Qadir as-Saqqaf)

Berpegang Teguh dengan Sunnah

Berpegang teguh dengan Sunnah dan menjauhi bid’ah adalah jalan menuju keselamatan dan kebahagiaan hakiki. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan tidak akan membahayakanmu sedikitnya orang yang menempuhnya. Jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar dengan banyaknya orang yang binasa.” (lihat Mukhtashar al-I’tisham, hal. 25)

Suatu ketika Sa’id bin al-Musayyab rahimahullah melihat ada seorang lelaki melakukan sholat setelah terbitnya fajar lebih dari dua raka’at dan dia memperbanyak padanya ruku’ dan sujud. Maka Sa’id pun melarangnya. Orang itu berkata, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengazabku karena melakukan sholat?”. Beliau menjawab, “Tidak, tetapi Allah akan mengazabmu karena menyimpang dari as-Sunnah/tuntunan.” (lihat dalam al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, hal. 27)

Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui manakah diantara kedua macam nikmat ini yang lebih utama; ketika Allah berikan hidayah kepadaku untuk memeluk Islam ataukah ketika Allah menyelamatkan aku dari hawa nafsu/bid’ah-bid’ah ini?” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 601)

Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya, demikian juga al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, dari az-Zuhri rahimahullah, beliau berkata, “Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan, “Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.”.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 340).

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan, dan jangan membuat ajaran-ajaran baru, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” Beliau radhiyallahu’anhu juga berkata, “Sesungguhnya kami ini hanyalah meneladani, bukan memulai. Kami sekedar mengikuti, dan bukan mengada-adakan sesuatu yang baru. Kami tidak akan tersesat selama kami berpegang teguh dengan atsar/jejak pendahulu yang salih.” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 46)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Barangsiapa yang mencermati keadaan kaum ahli bid’ah secara umum, niscaya akan dia dapati bahwa sebenarnya sumber kesesatan mereka itu adalah karena tidak berpegang teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah. Hal itu bisa jadi karena mereka bersandar kepada akal dan pendapat-pendapat, mimpi-mimpi, hikayat-hikayat/cerita yang tidak jelas, atau perkara lain yang dijadikan oleh kaum ahlul ahwaa’ [penyeru bid’ah] sebagai sumber dasar hukum bagi mereka.” (lihat at-Tuhfah as-Saniyyah Syarh al-Manzhumah al-Haa’iyah, hal. 15)

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok as-Sunnah dalam pandangan kami adalah berpegang teguh dengan apa-apa yang diyakini oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meneladani mereka dan meninggalkan bid’ah-bid’ah. Kami meyakini bahwa semua bid’ah adalah sesat. Kami meninggalkan perdebatan. Kami meninggalkan duduk-duduk (belajar) bersama pengekor hawa nafsu. Kami meninggalkan perbantahan, perdebatan (debat kusir), dan pertengkaran dalam urusan agama.” (lihat ‘Aqa’id A’immah as-Salaf, hal. 19)

Abu Ja’far al-Baqir rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang tidak mengetahui keutamaan Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu’anhuma maka sesungguhnya dia telah bodoh terhadap Sunnah/ajaran Nabi.” (lihat at-Tahdzib al-Maudhu’i li Hilyat al-Auliyaa’, hal. 466)

Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat seseorang yang mendoakan keburukan bagi penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pengekor hawa nafsu. Dan apabila kamu mendengar seseorang yang mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pembela Sunnah, insya Allah.” (lihat dalam mukadimah Qa’idah Mukhtasharah, hal. 13 oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr)

asy-Sya’bi rahimahullah berkata, “Cintailah ahli bait Nabimu, namun janganlah kamu menjadi Rafidhi [Syi’ah]. Beramallah dengan al-Qur’an, namun janganlah kamu menjadi Haruri [Khawarij]. Ketahuilah, bahwa kebaikan apapun yang datang kepadamu adalah anugerah dari Allah. Dan apa pun yang datang kepadamu berupa keburukan adalah akibat perbuatanmu sendiri. Namun, janganlah kamu menjadi Qadari [penolak takdir]. Dan taatilah pemimpin [pemerintah muslim] walaupun dia adalah seorang budak Habasyi.” (lihat Aqwal Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman [1/146])

Mencintai Para Sahabat Nabi

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah berkata, “Kita mencintai para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kita tidak berlebih-lebihan dalam mencintai salah seorang diantara mereka. Kita juga tidak berlepas diri dari siapapun diantara mereka. Kita membenci orang yang membenci mereka, dan juga orang-orang yang menjatuhkan kehormatan mereka. Kita tidak menyebutkan mereka kecuali dengan kebaikan. Cinta kepada mereka adalah termasuk bagian agama, ajaran keimanan dan sikap ihsan. Adapun membenci mereka adalah kekafiran, kemunafikan dan sikap yang melampaui batas.” (lihat al-‘Aqidah ath-Thahawiyah)

al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah meriwayatkan bahwa Imam Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihat kitab al-Kifayah)

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Termasuk Sunnah/ajaran nabi adalah menyebut-nyebut kebaikan seluruh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menahan diri dari perselisihan yang timbul diantara mereka. Barangsiapa yang mencela para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang diantara mereka maka dia adalah seorang tukang bid’ah pengikut paham Rafidhah/Syi’ah. Mencintai mereka -para Sahabat- adalah Sunnah/ajaran nabi. Mendoakan kebaikan untuk mereka adalah ibadah. Meneladani mereka adalah sarana -beragama- dan mengambil atsar/riwayat mereka adalah keutamaan.” (lihat kitab beliau as-Sunnah)

Belajar Manhaj dari Surat al-Fatihah

Di dalam surat al-Fatihah terkandung pelajaran tentang manhaj atau cara beragama yang benar di dalam Islam. Manhaj yang benar itu adalah mengikuti salafus shalih; para pendahulu yang salih dari umat ini yaitu para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Di dalam surat al-Fatihah kita berdoa kepada Allah (yang artinya), “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus.” Siapakah orang-orang yang berjalan di atas jalan yang lurus itu? Allah berfirman (yang artinya), “Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka.” Siapakah yang dimaksud ‘orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah’ itu? Mereka itu adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam ayat lainnya (yang artinya), “Yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’, dan orang-orang salih.” (an-Nisaa’ : 69) (lihat transkrip Manhaj Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih oleh Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah, hal. 7-8)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka; mereka itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dan anda setiap raka’at selalu berdoa kepada Allah untuk memberikan petunjuk kepada jalan mereka itu.” (lihat Tafsir Ayat minal Qur’anil Karim, hal. 17)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil tafsiran shirothol mustaqim/jalan yang lurus dari Abul ‘Aliyah rahimahullah. Abul ‘Aliyah berkata, “Itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua orang sahabatnya yang sesudah beliau (Abu Bakar dan Umar).” ‘Ashim berkata, “Kami pun menyebutkan penafsiran ini kepada al-Hasan. Maka al-Hasan berkata, “Benar apa yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan dia telah memberikan nasihat.”.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 1/139)

Jalan yang lurus ini juga disebut dengan jalan kaum beriman. Di dalam al-Qur’an Allah telah memberikan ancaman keras bagi orang-orang yang menyimpang dari jalan kaum beriman. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan kaum beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa’ : 115)

Para sahabat yang terdiri dari kalangan Muhajirin dan Anshar mereka itulah teladan bagi kaum beriman sesudah mereka. Jalan yang mereka tempuh adalah jalan keselamatan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya, dan Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (at-Taubah : 100)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para sahabatku! Sesungguhnya seandainya salah seorang diantara kalian memberikan infak sebesar gunung Uhud berupa emas maka hal itu tidak bisa menyaingi infak mereka yang hanya satu mud, bahkan setengahnya saja tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di zamanku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka mereka (para sahabat nabi) itulah teladan bagi umat ini. Dan manhaj mereka itu adalah jalan yang mereka tempuh dalam hal aqidah, dalam hal mu’amalah, dalam hal akhlak, dan dalam segala urusan mereka. Itulah manhaj yang diambil dari al-Kitab dan as-Sunnah karena kedekatan mereka dengan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kedekatan mereka dengan masa turunnya wahyu. Mereka mengambilnya dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka mereka itu adalah sebaik-baik kurun, dan manhaj mereka adalah manhaj yang terbaik.” (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 2-3)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah juga menasihatkan, “Dan tidak mungkin mengikuti mereka dengan baik kecuali dengan cara mempelajari madzhab mereka, manhaj mereka, dan jalan yang mereka tempuh. Adapun semata-mata menyandarkan diri kepada salaf atau salafiyah tanpa disertai pemahaman tentang hakikat dan manhajnya maka hal ini tidak bermanfaat sama sekali. Bahkan bisa jadi justru menimbulkan mudharat. Oleh sebab itu harus mengenal hakikat manhaj salafush shalih.” (lihat Manhajus Salafish Shalih wa Haajatul Ummah ilaih, hal. 3)

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-19/